Jejak Sang Pembangun Kembali

Biografi Habib Saggaf Bin Aljufri

Perjalanan Hidup Sang Pembangun Pendidikan di Timur Indonesia

Bab 1: Kelahiran & Masa Kecil

Habib Sayyid Saggaf bin Muhammad Al-Jufri lahir pada 17 Agustus 1937 di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Beliau adalah anak sulung dari Habib Muhammad bin Idrus Al-Jufri dan Hababah Syarifah Raquan binti Thalib Al-Jufri. Lahir di tanggal 17 Agustus bertepatan seperti tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebuah kebetulan simbolis yang membuat banyak orang mengaitkan semangat nasionalisme dengan sosok beliau. Beliau berasal dari keluarga besar keturunan Sada ba alawi, marga al-Jufri, yang telah lama berkiprah dalam pendidikan dan dakwah Islam di Nusantara.

Habib Saggaf di Pekalongan
Habib Idrus bersama habib saggaf dan murid muridnya.

Sejak kecil Habib Saggaf sudah menunjukkan ketekunan dan kecintaan luar biasa pada ilmu. Beliau aktif belajar di Madrasah Arab Islamiyah Pekalongan, selain juga banyak mendapat pendidikan informal langsung dari keluarganya, khususnya dalam membaca Al-Qur’an, ilmu dasar agama, dan pembiasaan akhlak. Kehidupan di Pekalongan membentuk karakternya sebagai anak yang penyabar, tekun, dan sangat hormat kepada orang tua. Di masjid dekat rumahnya, beliau juga terbiasa ikut berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan sejak usia sangat dini.

Pada tahun 1951, bersama keluarganya, Habib Saggaf pindah ke Palu, Sulawesi Tengah, mengikuti kakeknya Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua) untuk belajar langsung bersama sang kakek. Kepindahan ini menjadi babak baru dalam hidupnya, di mana beliau mulai menyatu dengan dunia pesantren yang berkembang pesat di Palu sebagai pusat dakwah dan pendidikan Islam di kawasan Indonesia Timur.

فاصرف زمانك في تعاليم الورى # لا تبتغ بدلا لهذا المقصد
"Habiskanlah waktumu untuk mengajar manusia, dan jangan mencari pengganti lain untuk tujuan mulia ini."
— Pesan Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua) kepada Habib Saggaf

Selain belajar formal, di usia remaja Habib Saggaf juga sering diajak Guru Tua bersilaturahmi ke ulama lain, berkenalan dengan banyak tokoh masyarakat, dan mengikuti majelis ilmu yang menanamkan semangat keberagaman dan toleransi sejak dini. Pengalaman ini kelak memperkuat wawasan kebangsaan beliau, karena terbiasa bergaul dengan masyarakat berbagai latar belakang, termasuk non-Muslim di daerah sekitarnya.

Bab 2: Pendidikan di Palu & Mesir

Di Palu, Habib Saggaf melanjutkan pendidikannya di jenjang ibtidaiyah (dasar) dan tsanawiyah (menengah), sebelum akhirnya masuk ke Madrasah Mu'allimin A dan B milik Al-Khairaat. Pengalaman paling berharga adalah setiap pagi beliau mendapatkan pelajaran langsung dari kakeknya, Guru Tua, bersama para santri lain. Pelajaran ini mencakup ilmu fikih dasar, tafsir, akidah, akhlak, serta penguatan hafalan Al-Qur’an. Kebiasaan belajar pagi hari itu menjadi fondasi kuat keilmuan dan spiritualitasnya hingga dewasa.

Selain pendidikan formal, beliau banyak menempuh pendidikan non-formal di lingkungan pesantren. Misalnya, mengikuti dakwah bersama Guru Tua ke berbagai wilayah Sulawesi, Maluku, bahkan sebagian Kalimantan. Rihlah dakwah ini mengajarkan beliau nilai sabar, pelayanan, dan kedekatan dengan umat dari latar sosial yang beragam.

Habib Saggaf dengan Prof Quraish Shihab dan Prof Alwi Shihab
Habib Saggaf bersama Prof Quraish Shihab dan Prof Alwi Shihab.

Pada tahun 1959, kecerdasannya membuatnya memperoleh beasiswa ke Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Di sana beliau mengambil jurusan Syari'ah, lulus dengan gelar Lc pada tahun 1963, lalu melanjutkan program magister hingga selesai tahun 1967. Selain aktif akademik, Habib Saggaf menjadi anggota Himpunan Pelajar dan Pemuda Indonesia (HPPI) dan sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh hebat lain dari Indonesia, seperti Prof. Quraish Shihab dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga sedang menempuh studi di Mesir.

Habib Saggaf kerap diundang diskusi oleh tokoh-tokoh Timur Tengah seputar kondisi umat Islam di Asia Tenggara. Wawasannya yang luas serta sikap moderatnya membuat ia mudah diterima dalam pergaulan internasional. Di Al-Azhar, beliau dikenal sebagai mahasiswa yang ulet, bersahabat, dan aktif mengikuti kajian-kajian di luar kurikulum resmi. Nilai-nilai toleransi dan nasionalisme yang diperkuat selama masa kuliah di Mesir ini kelak memengaruhi cara pandangnya dalam membangun Al-Khairaat.

Setelah menamatkan studi, Habib Saggaf memutuskan kembali ke Palu tahun 1967 untuk mengabdikan diri sepenuhnya di tanah air, meneruskan cita-cita Guru Tua memajukan pendidikan Islam yang rahmatan lil 'alamin.

Bab 3: Awal Karier & Kepemimpinan

Sepulangnya dari Al-Azhar, Habib Saggaf langsung diamanahi jabatan sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin pada IAIN Datokarama (filial IAIN di Palu) dari tahun 1967 hingga 1977. Selain itu, beliau juga aktif membina pondok-pondok pesantren yang saat itu mulai berkembang di bawah naungan Al-Khairaat. Pada masa yang sama, Habib Saggaf dipercaya menjadi Ketua Umum Alkhairaat sejak 1962, meskipun saat itu masih berada di Mesir, di mana pelaksana tugas harian dipegang kerabat dekatnya hingga ia pulang.

Beliau juga terpilih sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Tengah pertama tahun 1977, serta menjadi Ketua Umum Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) di provinsi tersebut. Bahkan tercatat pernah duduk sebagai anggota MPR mewakili Sulawesi Tengah, menunjukkan kepercayaan publik yang luas terhadap kapasitas keulamaan dan kepemimpinannya.

Estafet kepemimpinan Al-Khairaat secara resmi berpindah ke Habib Saggaf sebagai generasi ketiga pada tahun 1974, setelah ayahnya wafat.
Habib Saggaf
Habib Saggaf di haul habib idrus bin salim aljufri

Habib Saggaf memegang amanah Ketua Utama Al-Khairaat selama 47 tahun tanpa terputus hingga wafatnya pada tahun 2021. Beliau memimpin ribuan cabang madrasah, pesantren, serta unit-unit sosial Al-Khairaat dengan kepemimpinan yang karismatik, tegas, dan tetap menonjolkan sifat rahmah. Dalam periode panjang itu, ia melakukan pembaruan kurikulum, penguatan akreditasi lembaga pendidikan, serta memperluas jaringan hingga pelosok terpencil di Indonesia Timur.

Beliau juga menegaskan posisi Ketua Utama sebagai figur tertinggi Al-Khairaat, serupa dengan Rais Aam dalam struktur NU, termasuk hak prerogatif yang bisa digunakan, yang dipakai beberapa kali untuk menjaga agar organisasi tetap lurus pada misi Guru Tua. Sikap tegasnya tercermin dalam kebijakan memberhentikan oknum pimpinan cabang yang dianggap menyimpang atau menjadikan cabang sebagai kepentingan pribadi. Dengan cara ini, Habib Saggaf berhasil merawat keutuhan dan stabilitas Al-Khairaat di era modern.

Bab 4: Peran & Kontribusi

Di bawah kepemimpinan Habib Saggaf, Al-Khairaat berkembang menjadi salah satu jaringan pendidikan Islam terbesar di kawasan timur Indonesia, dengan lebih dari 1.700 satuan pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga universitas. Beliau tidak hanya memperluas jumlah madrasah, tetapi juga meningkatkan kualitas kurikulum dan fasilitas, agar mampu bersaing dengan lembaga pendidikan modern lain.

Beliau mendorong pembukaan cabang-cabang baru hingga ke daerah minoritas Muslim. Salah satu kisah paling menarik adalah di Kecamatan Kulawi, Sulawesi Tengah, yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Di sana, Habib Saggaf berhasil mendirikan 12 madrasah ibtidaiyah dan 1 madrasah tsanawiyah, bahkan dibantu oleh guru-guru Kristen lokal yang ikut mengajar di madrasah. Ini mencerminkan sikap moderat dan toleran beliau, serta keteladanan untuk merangkul semua elemen masyarakat.

Habib Saggaf juga terkenal sering memotivasi para guru di pelosok dengan pesan spiritual agar tetap ikhlas dan sabar. Salah satu kutipan yang sering diulang beliau kepada para guru dan santri adalah:

"Barangsiapa menginginkan dunia maka hendaklah berilmu; barangsiapa menginginkan akhirat, maka hendaklah berilmu; barangsiapa menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu."

Beliau menekankan bahwa guru-guru Al-Khairaat adalah pewaris perjuangan Nabi dan harus bangga meskipun ditempatkan di pelosok dengan honor yang tidak selalu tinggi. Ketabahan dan keikhlasan mereka adalah landasan sukses Al-Khairaat selama puluhan tahun.

Salah satu kontribusi strategis lainnya adalah pendirian Pondok Pesantren Al-Khairaat Madinatul Ilmi Dolo di Kabupaten Sigi pada tahun 1992, sebagai respon atas minimnya tenaga pengajar bermutu untuk madrasah-madrasah Al-Khairaat. Pesantren ini dikelola putri beliau, Dr. Mufidah Al-Jufri bersama suaminya, dan menjadi tempat kaderisasi guru-guru masa depan. Habib Saggaf sendiri rutin hadir setiap Sabtu untuk mengajar metode halaqah (rawha), mendengarkan bacaan para santri, mengoreksi, dan memberi syarah mendalam.

Di samping pendidikan, beliau juga menginisiasi rumah sakit SIS Aljufri di Palu, mendirikan toserba halal SAL, menerbitkan surat kabar Media Alkhairaat, dan merintis radio Alkhairaat. Semua ini menegaskan peran Al-Khairaat bukan hanya mencetak ulama, tetapi juga menyejahterakan umat secara sosial dan ekonomi.

Bab 5: Karya Tulis

Di samping kiprah kepemimpinannya, Habib Saggaf juga meninggalkan sejumlah karya tulis dan warisan intelektual bagi umat. Berikut di antaranya:

  • Soal Jawab tentang Umat dan Masalahnya: Buku dua jilid berisi kumpulan tanya-jawab berbagai persoalan umat yang pernah beliau jawab melalui rubrik konsultasi agama di harian Media Alkhairaat. Buku ini menjadi rujukan praktis dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari dengan bahasa lugas dan dalil yang mudah dipahami.
  • Cover Buku Habib Saggaf
    Menjawab Masalah Umat Sumber: media alkhairaat
  • Anasyid Al-Khairaat: Buku berisi kumpulan syair atau nasyid Islami khas Al-Khairaat. Karya ini berfungsi menanamkan kecintaan kepada Allah dan Rasul melalui lantunan syair, menumbuhkan semangat perjuangan, serta mempererat ukhuwah di kalangan santri Al-Khairaat.
  • Kumpulan Mahfuzhat: Tiga jilid buku berisi kata-kata hikmah dan mutiara dalam bahasa Arab dengan terjemahan serta penjelasan ringkas. Mahfuzhat ini biasa diajarkan kepada santri sebagai latihan bahasa Arab dan penanaman nilai moral.

Selain itu, beliau menulis banyak artikel di kolom opini surat kabar bulanan Al-Khairaat, menanggapi isu-isu sosial dan keagamaan dengan perspektif rahmatan lil ‘alamin. Gaya penulisan Habib Saggaf mudah dicerna, menghindari bahasa yang rumit agar bisa diterima semua kalangan. Ini memperkuat reputasinya sebagai mufti informal di wilayah timur Indonesia, tempat masyarakat selalu merujuk pertanyaan keagamaan dan kebangsaan kepadanya.

Walaupun tidak banyak menulis kitab tebal seperti ulama klasik, kontribusi lisan dan institusional beliau melalui ribuan ceramah, majelis, serta pembangunan lembaga, yang luas menjadi warisan abadi bagi generasi berikutnya.

Bab 6: Tantangan Kepemimpinan

Memimpin Al-Khairaat selama hampir lima dekade, Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri menghadapi berbagai ujian yang menuntut bukan hanya kebijaksanaan, tetapi juga keberanian dan keteguhan visi. Dalam perjalanannya, beliau berhasil melewati zaman Orde Baru, masa Reformasi, hingga era globalisasi dan disrupsi digital, tanpa pernah meninggalkan nilai-nilai dasar yang diwariskan Guru Tua.

Salah satu tantangan utama adalah menjaga keutuhan visi dan ruh Al-Khairaat di tengah derasnya arus modernisasi pendidikan dan dinamika sosial-politik. Dalam berbagai muktamar dan pertemuan resmi, beliau selalu mengingatkan bahwa lembaga pendidikan Islam bukan sekadar tempat transfer ilmu, melainkan pusat pembentukan akhlak dan keteladanan hidup.

"Al-Khairaat bukan milik satu golongan, bukan pula kendaraan politik. Ia adalah amanah umat, dan harus dijaga kemurniannya dari segala kepentingan duniawi."

Dalam menghadapi era digital dan desentralisasi, beliau juga melihat adanya tantangan struktural dan finansial yang besar, terutama di wilayah pelosok. Minimnya dana operasional menjadi masalah serius bagi banyak madrasah Al-Khairaat, terutama di kawasan terpencil Sulawesi dan Maluku.

Habib Saggaf bersama Wapres Jusuf Kalla
Habib Saggaf bersama Wapres Jusuf Kalla saat Haul Guru Tua ke‑48 di Palu — menyuarakan langsung keprihatinan atas keterbatasan dana pendidikan di hadapan pejabat tinggi negara.
Sumber: Republika, 2016

Pada acara Haul Guru Tua ke‑48 (Juli 2016), Habib Saggaf menyuarakan langsung masalah tersebut kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla dan para pejabat negara. Dalam kesempatan itu, beliau menyampaikan bahwa sedikitnya 12 madrasah Al-Khairaat di Kabupaten Donggala tidak lagi beroperasi karena kekurangan dana, dan menyerukan komitmen bersama untuk menjaga keberlanjutan pendidikan Islam, khususnya di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).

Di masa Orde Baru dan Reformasi, tekanan terhadap lembaga keagamaan cukup terasa. Habib Saggaf memilih sikap independen namun bijaksana: tidak frontal terhadap negara, tapi juga tidak tunduk secara politis. Beliau menjaga posisi moral Al-Khairaat sebagai kekuatan sipil umat. Hal ini bukan tanpa risiko, terutama ketika ada pihak-pihak yang mencoba menyeret Al-Khairaat ke dalam tarik menarik kekuasaan.

Tantangan lain muncul dari internal organisasi yang sangat luas. Dengan ribuan satuan pendidikan dari pelosok Sulawesi, Maluku, hingga Papua, menjaga konsolidasi dan standarisasi kurikulum menjadi tantangan nyata. Habib Saggaf menyelesaikan ini dengan memperkuat struktur keorganisasian, menetapkan sistem audit lembaga, serta mengirim utusan langsung ke daerah untuk memastikan jalannya pendidikan tetap lurus.

Live streaming haul guru tua ketika masa covid 19
Live streaming haul guru tua ketika masa covid 19

Memasuki abad ke-21, dunia pendidikan menghadapi tantangan baru: digitalisasi dan kesenjangan teknologi. Banyak madrasah di bawah naungan Al-Khairaat berada di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Habib Saggaf mendorong PB Al-Khairaat untuk merespons perubahan ini melalui pelatihan daring, adaptasi kurikulum digital, dan mempercepat infrastruktur teknologi, meskipun dengan sumber daya terbatas.

"Jangan biarkan guru-guru kita tertinggal oleh zaman. Mereka pahlawan sejati yang harus kita bekali, bukan hanya dengan niat, tapi juga dengan alat."

Salah satu tantangan terbesar di akhir masa kepemimpinannya adalah proses regenerasi. Struktur Al-Khairaat yang berbasis kharisma dan silsilah membuat suksesi tidak mudah. Namun, Habib Saggaf mempersiapkan regenerasi dengan menyiapkan kader-kader intelektual dari kalangan keluarga maupun luar, dan tetap menjaga prinsip meritokrasi dalam keagamaan.

Dalam perjalanannya, Habib Saggaf bukan hanya memimpin organisasi, tapi juga menanamkan prinsip bahwa setiap zaman punya tantangan dan setiap pemimpin harus menjawabnya dengan hikmah, bukan sekadar reaksi. Itulah yang membuat sosok beliau dihormati lintas generasi, bahkan oleh mereka yang tidak pernah langsung bertemu.

Bab 7: Wafatnya Sang Ulama

Habib Saggaf bin Muhammad Al-Jufri wafat pada hari Selasa, 3 Agustus 2021, di Palu pada usia 83 tahun. Beliau menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Al-Khairaat Palu sekitar pukul 15.30 WITA setelah sempat menjalani perawatan medis beberapa hari. Kepergiannya menjadi duka mendalam bagi ribuan warga, ulama, dan tokoh bangsa yang turut mengantar jenazahnya pada prosesi pemakaman di kompleks Masjid Al-Khairaat, bersebelahan dengan makam adiknya, Habib Abdillah Al-Jufri.

Habib Saggaf Wafat
Pemakaman Habib Saggaf Sumber : AntaraNews
"Alkhairaat, hidupkan Alkhairaat, jaga Alkhairaat."

Itulah pesan terakhir beliau, diucapkan beberapa saat sebelum wafat, sebagai amanat suci bagi para murid dan penerusnya agar senantiasa menjaga dan menghidupkan warisan pendidikan serta perjuangan dakwah yang telah dirintis oleh Guru Tua sejak 1930-an. Pesan ini kemudian menjadi pegangan moral bagi ribuan guru, santri, dan pengurus Al-Khairaat di berbagai daerah hingga sekarang.

Ribuan pelayat dari berbagai provinsi datang menghormati prosesi pemakaman beliau, termasuk para pejabat, ulama besar, dan masyarakat lintas agama. Hal ini mencerminkan penghormatan yang begitu tinggi atas dedikasi Habib Saggaf dalam membina kerukunan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Setelah wafatnya, kepemimpinan Ketua Utama Al-Khairaat diteruskan oleh putranya, Habib Sayyid Alwi bin Saggaf Al-Jufri, dalam Muktamar XI Al-Khairaat tahun 2023, memastikan estafet perjuangan keluarga tetap berjalan.

Solat Jenazah Habib Saggaf
Ribuan jamaah hadir untuk solat jenazah. Sumber : AntaraNews

Habib Saggaf akan selalu dikenang sebagai sosok ulama kharismatik, guru umat, dan pelanjut perjuangan besar Guru Tua yang menanamkan nilai ilmu, toleransi, dan kemanusiaan di seluruh Indonesia, khususnya Indonesia Timur.